Monday, 6 April 2020

6 April 2020, Monday




Bacaan ku di hari ini ada 2 judul.

Di baca langsung lewat display elektronik.




Pariwisata Bali dan Multikulturalisme







Pariwisata Bali populer di kalangan wisatawan asing hingga dalam negeri. Hal itu pun disebabkan oleh budaya multikulturalisme yang ada di sana sejak lama.
Indonesia yang memiliki kekayaan budaya didalamnya pun juga tidak luput dari pengaruh globalisasi dan kontak dunia luar. Hal ini dapat dilihat sejak zaman datangnya bangsa Eropa ke Indonesia yang memengaruhi cara hidup dan berpikir masyarakat Indonesia.

Arus globalisasi yang masuk melampaui batas-batas ruang dan waktu turut memengaruhi pariwisata di Indonesia, khususnya Bali. Di Indonesia mulai tahun 1910-1920, Belanda membuka biro pariwisata VTV (Vereeniging Toeristen Verker) atas keluarnya keputusan Gubernur Jendral. Selanjutnya, terbentuk agen perjalanan LISLIND dan NITOUR di Batavia yang berpusat di Belanda.

Destinasi wisata utama yang ditawarkan oleh Belanda adalah Bali, tetapi atraksi wisata yang ditawarkan bukan hanya keeksotisan pantai atau gunung saja, melainkan juga perempuan lokal yang bertelanjang dada. Pada saat itu, kebudayaan Jawa dan Bali masih dikenal primitif, perempuan-perempuan tidak mengenakan pakaian untuk menutupi dada, hal ini merupakan sesuatu yang unik dan vulgar menurut masyarakat Belanda sehingga membuat mereka tertarik untuk mengunjungi Bali.

Pariwisata di Bali masih berkembang sampai saat ini. Hal ini dapat terjadi karena adanya hubungan antara penduduk lokal, pembisnis pariwisata, pengembang pariwisata, dan wisatawan. Hubungan yang terbentuk bukan hanya hubungan secara fiskal dan ekonomis, melainkan juga secara kultural.

Wisatawan, penduduk lokal, dan migran yang datang untuk mencari peluang usaha di Bali tentu tidak bisa melepaskan kebudayaan yang dibawanya. Wisatawan memiliki kebudayaan sendiri yang dibawa dari negara atau daerahnya, penduduk lokal juga memiliki kebudayaan sendiri, migran baik yang berasal dari luar negeri maupun berbagai suku bangsa di Indonesia seperti Batak, Sasak, Madura juga membawa sistem budaya yang melekat dalam diri. Hal tersebut tentu menyebabkan terbentuknya masyarakat multikultural di Bali.

Aspek-aspek budaya dan atraksi wisata yang ditawarkan juga turut mengikuti tatanan masyarakat yang multikultural. Atraksi wisata yang diambil dari budaya lokal masyarakat setempat, seperti kesenian tari kecak, tari barong, musik gamelan, dan tradisi ritual masyarakat lokal.

Begitu pula Pariwisata Bali. Bukan hanya menawarkan aspek budaya masyarakat lokal sebagai atraksi wisata, tetapi juga mengikuti selera wisatawan. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya pusat-pusat hiburan seperti restoran dan hotel yang bertaraf internasional. Adanya spa atau panti pijat, bar dan diskotik yang di pusat keramaian juga ditawarkan mengikuti selera wisatawan.

Dengan demikian, keadaan pariwisata Bali menyebabkan masuknya masyarakat yang heterogen sehingga muncul multikulturalisme. Multikulturalisme di Bali dapat terjadi karena adanya penerimaan dan pengakuan adanya perbedaan sehingga tercipta keharmonisan satu sama lain.






-------------------------------------





TAN MALAKA


Dari Dirinyalah Konsep Negera Indonesia Lahir, Hingga Begitu Dipercaya oleh Soekarno Jadi 'Cadangan' Pembaca Proklamasi, Akhir Hidup Tan Malaka yang Nestapa, Dibedil oleh Bangsanya Sendiri





https://hype.grid.id/amp/432091486/dari-dirinyalah-konsep-negera-indonesia-lahir-hingga-begitu-dipercaya-oleh-soekarno-jadi-cadangan-pembaca-proklamasi-akhir-hidup-tan-malaka-yang-nestapa-dibedil-ole?page=all







Sosoknya mungkin tak terlalu banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia.

Namun ia adalah salah satu tokoh yang punya jasa penting di negara ini.

Sayang, jasanya itu tak serta merta membuat namanya tercantum dalam buku-buku sejarah anak sekolah.

Tan Malaka memang kerap kali hadir secara diam-diam dalam acara penting jelang kemerdekaan, namun menggunakan nama samaran.

Baca Juga: Viral Video Tim Medis China Berada di Bandara Soekarno Hatta, Begini Penjelasan Pihak Imigrasi

Padahal, Sutan Sjahrir lebih memilih Tan Malaka yang membacakan teks proklamasi, bukan Soekarno.

Bahkan, Soekarno sendiri sempat meminta Tan Malaka untuk menjadi 'cadangan'pembaca teks proklamasi.

Sebab, Bung Karno takut terjadi sesuatu pada dirinya atau Bung Hatta.

Sebuah permintaan yang dibalas Tan Malaka dengan sebuah kalimat yang benar-benar menunjukkan kenegarawanan dirinya.

Berikut ini kisah lengkapnya.

Kala itu Juli 1945, Sutan Sjahrir mencari Tan Malaka karena dianggap sebagai tokoh yang paling layak membacakan teks proklamasi.

Meskipun dikenal juga sebagai tokoh gerakan bawah tanah menentang Jepang, Sjahrir bukanlah sosok yang pantas, karena dia dianggap kurang begitu populer di kalangan masyarakat.

Sedangkan Sukarno-Hatta adalah kolaborator Jepang.

Rudolf Mrazek dalam bukunya, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, menceritakan bahwa berbagai upaya telah dilakukan Sjahrir untuk mencari Tan yang 20 tahun berada dalam pelarian.

Setelah beberapa kali mencari, Sjahrir akhirnya berhasil bertemu dengan Tan.

Tapi upaya Sjahrir gagal, Tan merasa tidak siap untuk membacakan teks proklamasi.

Sebenarnya sangat disayangkan, ketika proklamasi dikumandangkan, tidak ada sosok Tan Malaka di sana.

Buku itu selanjutnya menjadi pegangan wajib tokoh-tokoh pergerakan nasional waktu itu, termasuk juga Sukarno.

Tidak bisa hadir saat proklamasi bisa jadi menjadi penyesalan terbesar bagi tokoh sekaliber Tan Malaka.

Meski demikian, bukan berarti dia tidak mempunyai peran penting.

Beberapa literatur mengatakan, bahwa tokoh yang menggerakkan Sukarni dan rekan-rekannya, adalah Tan Malaka.

Waktu itu, 6 Agustus 1945, Tan datang ke rumah Sukarni menggunakan nama Ilyas Husain.

Beberapa tokoh pemuda juga datang. Tak hanya sekali, 14 Agustus, untuk kali kedua Tan datang ke rumah Sukarni, lagi-lagi membicarakan masalah nasib bangsa.

Meski demikian, Tan Malaka tidak bisa seenaknya keluar menampakkan diri, karena dia masih dalam status buron pemerintah militer Jepang.

Sekitar tiga minggu selepas proklamasi, Sukarno menyuruh Sayuti Melik mencari Tan Malaka.

Sukarno ingin bertemu karena ia mendengar bahwa Tan tengah berada di Jakarta.

Sebagai bagian dari golongan muda, Sayuti cukup tahu di mana Tan berada. Pertemuan pun diatur sedemikian rupa.

Dalam kesaksiannya yang pernah dimuat di Sinar Harapan 1976, Sayuti mengatakan bahwa Sukarno berpesan kepada Tan untuk mengganti posisi Sukarno jika ada sesuatu terjadi dengan dirinya dan Hatta.

Amanah Sukarno ditanggapi dengan biasa oleh Tan. Itu tertulis dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan mengatakan, “saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah lama saya idamkan.”

Kemerdekaan tidak menjadikan hidup Tan merdeka, ia tetap menjadi tokoh yang dikejar-kejar, bahkan oleh negara yang dicita-citakannya sendiri.

1949 Tan meninggal di ujung bedil tentara republik di seputaran Kediri, Jawa Timur.

Dan sampai mati, Tan tetaplah Bapak Revolusi yang sunyi.