1 October 2020, Thursday
Bacaan ku hari ini dari sambungan kemarin 30 September 2020 dengan judul :
TAN MALAKA
Setelah ketemu lagi sama Darsono, Tan Malaka ikut bergabung menjadi anggota Comintern dan pindah ke Moscow Rusia untuk berfokus mengurus negara-negara Timur termasuk Hindia Belanda. Pada Kongres Internasional Comintern ke empat tahun 1922, Tan Malaka bikin kaget para pemimpin-pemimpin komunis dunia, termasuk Lenin dan Trotsky, karena pendapatnya yang nyebutin bahwa Comintern bisa kerjasama dengan negara-negara Islam untuk membela kaum tertindas. Namun, gagasan itu tidak sampai direalisasikan. Berikut kutipan langsung pendapat Malaka di kongres tersebut:
“Bersandingan dengan Bulan Sabit, Bintang Soviet akan menjadi panji perang akbar untuk kira-kira 250 juta Muslim yang ada di Sahara, Arabia, Hindustan, dan Hindia Kami (Indonesia maksudnya).”
Berikutnya, Tan Malaka ditugaskan menjadi agen Comintern di Asia Tenggara dan bermarkas di Kanton, Tiongkok. Di sanalah, Tan Malaka menyusun sebuah gagasan masa depan bagi Hindia Belanda yang dia bukukan dengan judul “Naar de ‘Republiek Indonesia’” atau “Menuju Republik Indonesia”. Buku yang disusun tahun 1925 ini menjadi tulisan pertama yang nyebut frase “Republik Indonesia” yang mengacu pada perjuangan kemerdekaan Hindia Belanda dari kolonialisme.
Buku ini berisi analisis Malaka terhadap kancah politik dunia pada saat itu, dan juga gagasan awal bagaimana sih perjuangan menuju negara bernama Indonesia itu direalisasikan. Selain itu, di buku ini Tan Malaka juga berhasil menganalisis sekaligus meramalkan dengan tepat bahwa ga lama lagi persaingan kekuatan ekonomi Jepang dan Amerika bakal berujung ke meletusnya perang di Pasifik, dimana situasi kekacauan itu bisa jadi kesempatan bagi Indonesia untuk melakukan revolusi untuk melawan Belanda. Buku inilah yang pertama kali menginspirasi kaum cendekiawan muda di tanah air maupun Belanda (Soekarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, Nasution, dkk) untuk ikut merealisasikan gagasan negara Indonesia ini menjadi kenyataan. Enam belas tahun setelah buku ini dicetak, analisis Tan Malaka terjadi. Beneran meletus tuh Perang Pasifik dalam rangkaian Perang Dunia II, sekaligus menjadi peluang bagi Bung Karno, Hatta, Sjahrir, dkk untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Setelah PKI dihancurkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1926, Tan Malaka ngediriin Partai Republik Indonesia di Manila. Dia ngejalanin partai ini dari jauh, dan mendirikan perwakilan di berbagai daerah di Indonesia dengan bantuan rekan-rekan mantan anggota PKI. Setelah puluhan tahun ngungsi, dipenjara-penjarain, dibuang dari satu negara ke negara lain, Tan Malaka akhirnya memutuskan untuk diem-diem balik ke Indonesia dengan naik perahu kecil secara rahasia nyeberang Selat Malaka, dan setelah nyampe di Jakarta, Tan Malaka menyamar sembari kerja jadi pegawai dinas kesejahteraan sosial.
Kembali ke Indonesia dan Perjuangan mempertahankan Kemerdekaan (1942 – 1949)
Walaupun Belanda udah diusir oleh Jepang, tapi Tan Malaka masih menyembunyikan jati dirinya sampai Bung Karno, dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Selama masa persembunyiannya itulah, Tan Malaka menulis karya terbesarnya yang berjudul “MADILOG (Materialisme-dialektika-logika)” — sebuah buku yang isinya argumen dia tentang pentingnya pola pikir analitik dalam mencapai sebuah kesimpulan yang valid. Buku ini ditulis karena Tan Malaka ngeliat kelemahan terbesar sebagian besar rakyat Indonesia (yang pada masa itu) cenderung belum terbiasa berpikir kritis, seringkali tidak logis dan rasional, serta belum mampu berdialog secara sehat. Kurang gokil gimana lagi coba, doi?!
Setelah Jepang nyerah dari sekutu dan Indonesia memerdekakan diri, Malaka baru deh, merasa aman untuk munculin identitas aslinya ke muka umum. Langkah pertamanya sehabis Proklamasi dibacakan oleh Sukarno adalah tur keliling Jawa dan memberitakan “kabar gembira” tentang kemerdekaan sekaligus membakar semangat rakyat untuk betul-betul mempertahankan kemerdekaan sampai status ini diakui secara internasional.
Pada saat keliling Pulau Jawa ini, Tan Malaka melihat sendiri bahwa ternyata rakyat menyambut kemerdekaan ini dengan semangat yang luar biasa untuk mempertahankan tanah airnya, kalau perlu sampai mengorbankan nyawa. Namun di sisi lain, Tan Malaka justru melihat pergerakan pemimpin negara baru ini (Bung Karno, Hatta, Sjahrir) cenderung “lembek” dan terus mau disetir oleh orang Barat, supaya negara ini mendapat pengakuan oleh masyarakat internasional. Tan Malaka berpendapat, bahwa kemerdekaan ini sudah diraih sepenuhnya, dan kita tidak perlu lagi melakukan jalur perundingan apa-apa lagi, karena nanti khawatirnya, isi perjanjian tersebut akan merugikan Bangsa Indonesia di kemudian hari.
Dalam ujung tur keliling Jawa tersebut, Tan Malaka juga sempat bergabung dengan perjuangan rakyat Surabaya untuk secara langsung berjuang mengusir tentara Belanda (Allied Force for Netherland East Indies- AFNEI) yang dipimpin oleh Lord Mountbatten dan wakilnya, Brigadir Aubertin Walter Sothern Mallaby dalam upaya mencoba lagi menyusup ke Indonesia
Bacaan disambung besok ......