Friday, 2 October 2020

2 October 2020, Friday



Bacaan ku hari ini dari sambungan kemarin 1 October 2020.



Komentar ku terhadap Tan Malaka di bagian bacaan ini  :  Pemikiran yang logis dan rasional.






Setelah memenangkan peperangan di Surabaya, pada bulan Desember 1945 Tan Malaka kembali berjuang di Purwokerto untuk menyusun strategi perlawanan total terhadap para penjajah Barat yang akhirnya jadi sebuah perkumpulan yang dinamain “Persatuan Perjuangan” (PP). Perkumpulan ini adalah sebuah manifesto dari kekecewaan rakyat Indonesia terhadap keputusan pemerintah Republik Indonesia yang pada saat itu cenderung untuk menempuh jalur perundingan buat dapetin pengakuan internasional. Ternyata dukungan dari perkumpulan PP ini buanyak banget, lho. Dalam waktu seminggu, udah ada ratusan organisasi gabung ke PP ini. Di sisi lain, pembentukan PP ini juga didukung kuat oleh Jenderal Sudirman, yang lagi sibuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan sekutu di Jawa Tengah.

Ironisnya, pendirian kelompok yang bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan inilah yang nantinya membuat Tan Malaka nantinya terbunuh oleh tentara Indonesia sendiri. Walaupun punya banyak dukungan dari rakyat, kepentingan para elit politik di Jakarta untuk meminimalisir konflik dengan pihak Barat terus mengintervensi “perjuangan lapangan” yang dilakukan oleh Tan Malaka. Pada puncak perjuangannya pada pertengahan tahun 1946, para pemimpin PP pada ditangkepin sama pemerintahan Sutan Sjahrir karena dianggap pembangkang yang bandel dan gak mau nurut sama pemerintah pusat.

Kekih deh Tan Malaka. Ngenesnya lagi, ternyata PKI sebagai partai yang dulu dia bela mati-matian sampe harus ngungsi ke banyak negara, malah bersikap pro sama Sjahrir. Tapi dasar emang Tan Malaka, sewaktu bebas dia berjuang di lapangan, kalo dipenjara itu saatnya untuk bikin buku bagus. Pada saat dipenjara sama Sjahrir inilah doi bikin beberapa buku mahsyur yang dikasi judul “Rentjana Ekonomi”, “Theses”, dan “Gerilya Politik Ekonomi (GERPOLEK)”.

Ketika dibebasin dari penjara sama Pemerintahan Amir Sjarifuddin (yang emang orang PKI), Tan Malaka langsung melihat kenyataan bahwa kekhawatiran dia selama ini yang menentang jalur perundingan ternyata kejadian juga melalui perjanjian Renville, yang isinya sebagai berikut:

  1. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia
  2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
  3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Inilah yang bikin Tan Malaka jengkel, dan pembuktian bahwa jalur diplomasi pada masa awal kemerdekaan Indonesia itu adalah tindakan yang keliru karena kita bisa dimain-mainin sama Belanda yang udah jauh lebih punya pengaruh di dunia Internasional.

“Tuh kan gua bilang juga apa!! Ngapain sih harus berunding-berunding lagi segala, wong kita udah merdeka, ngapain harus berunding? Kalo berunding lagi bisa jadi kita nggak merdeka 100%!”

Itulah kira-kira isi hati Tan Malaka pada saat itu. Menanggapi isi perjanjian itu, Tan Malaka banyak banget membentuk gerakan masyarakat untuk menghimpun kekuatan massa yang menentang perjanjian Renville dan merebut kembali keutuhan wilayah Indonesia dari Sabang–Merauke dari mulai ngebentuk Gerakan Revolusi Rakyat (GRR), PARI, sampai Murba (Partai Musyawarah Rakyat Banyak).


Bacaan disambung besok .....